Novelet Madre adalah salah satu dari sekian karya Dewi Lestari yang saya suka. Dewi Lestari begitu pandai mengolah kata-kata, itu adalah pujian saya ketika saya menikmati madre dalam tulisan. Ringan tapi tidak murahan. Penuh makna. Bisa mengaduk-aduk emosi saya. Saya ketawa-ketawa kecil, ikut girang, bahkan menangis. Dan yang paling penting, saya ikut merasakan rasa sayang pada adonan biang yang jadi inti dari cerita ini.
Jujur, saya sangat girang ketika tau cerita favorit ini akan difilmkan. Saya akan melihat Tansen, Mei dan Pak Hadi dalam wujud nyata. Saya akan melihat wujud madre, si biang roti yang berhasil merubah hidup Tansen dalam satu hari.
Film ini tayang premiere 28 Maret kemarin di bioskop. Saya ngga bisa nonton pada hari pertama penayangannya karena saya bokek dan pasangan nonton saya lagi pulang kampung. Hhehe. Jadi saya cuma bisa baca review orang-orang yang sudah nonton. Karena saya follow dewi lestari dan posko pembaca dee di twitter, saya banyak baca review yang memuaskan, saya baca kalo banyak yang full house saat penayangan madre, banyak yang merasa puas. Saya makin cerewet ngajak partner nonton saya, Ayik, buat sesegera mungkin nonton film ini. Tapi demi keseimbangan, malam sebelum saya nonton, saya search "madre" di twitter dan keluarlah keluhan-keluhan kecewa dari banyak orang pasca nonton film ini, yang tentu saja ngga akan diretweet oleh posko pembaca dee dan dewi lestari. Ahh tapi saya akan tetep nonton kok, seperti saya juga nonton perahu kertas dan rectoverso. Kenapa? Karena saya ingin melihat visualisasi dari novel-novel dewi lestari kesayangan saya.
Soooo, kemaren, 2 april, akhirnya saya nonton dengan Ayik. Ayik ini bukan pembaca madre, dan dia tau ada banyak review jelek, jadi dia menyarankan agar saya menurunkan ekspektasi saya.
Sudah, saya tentu saja sudah menurunkan ekspektasi saya. Sudah. Dan ternyata saya kecewa sama film ini. Yah saya tau sih, tulisan dan film adalah media yang berbeda. Pasti susah membuat film berdasarkan cerita karya Dewi Lestari yang menjadi favorit banyak orang. Film ini bagus kok. Tapi ya bagus aja. Nggak ngena, nggak dapet. Kayak liat FTV di layar lebar. Dan saya nggak suka banget, Benni Setiawan ngobrak-abrik madre jadi seperti ini. Madre seperti bukan lagi inti dari film ini, madre jadi hanya sebagai perantara kisah cinta Mei dan Tansen. Itu sih yang sebenarnya paling mengecewakan saya.
Karakter Tansen terasa labil karena dia bolak balik Bandung-Bali, bingung menentukan keputusannya, lari dari masalah. Saya juga nggak dapet feel Mei yang terobsesi pada madre karena rasa bersalahnya sudah merusakkan adonan biang yeye. Saya juga nggak lihat Mei yang workaholic, yang gesit. Mei yang saya lihat di film adalah wanita yang kalem, mendayu-dayu, yang terobsesi madre karena peduli pada bisnisnya dan hidup Tansen. Tansen rela meninggalkan kebebasannya bukan karena ia akhirnya menyayangi madre yang telah menyentuh hidupnya atau karena kata-kata pak Hadi yang banyak mengarahkannya, tapi lebih karena ia jatuh cinta pada Mei. Di dalam novel, Pak Hadi adalah orang Jakarta dengan tubuh kurus, punya karakter kuat dan aura kebijaksanaan, yang kerap berkata tegas tanpa basa basi tapi semua omongan nylekitnya berhasil menohok dan terasa benar. Pak Hadi dalam film penuh komedi dan jadi Sunda. Belum lagi akting Titi Qadarsih sebagai bu Cory, terlalu berlebihan dan gengges. Lalu Mei yang ternyata sudah punya calon suami. Juga konflik tentang Tan De Bakker dan Fairy bread yang terasa dipaksakan.
Ahh ya, ketika saya nonton ini, bioskopnya sepi tuh. Hanya ada sekitar 15 orang dan beberapa di antaranya adalah couple, yang saya yakin sang cowok nonton film ini karena ajakan ceweknya *seperti Ayik* :D
Kesimpulannya, imho, film ini salah adonan dan overrated. Dan yah meski saya tak cocok dengan film ini tapi saya tetap berharap film ini akan lumayan laku, karena bagus tidaknya sebuah film kan juga masalah selera.
Terakhir, jayalah film Indonesia :D
Jujur, saya sangat girang ketika tau cerita favorit ini akan difilmkan. Saya akan melihat Tansen, Mei dan Pak Hadi dalam wujud nyata. Saya akan melihat wujud madre, si biang roti yang berhasil merubah hidup Tansen dalam satu hari.
Film ini tayang premiere 28 Maret kemarin di bioskop. Saya ngga bisa nonton pada hari pertama penayangannya karena saya bokek dan pasangan nonton saya lagi pulang kampung. Hhehe. Jadi saya cuma bisa baca review orang-orang yang sudah nonton. Karena saya follow dewi lestari dan posko pembaca dee di twitter, saya banyak baca review yang memuaskan, saya baca kalo banyak yang full house saat penayangan madre, banyak yang merasa puas. Saya makin cerewet ngajak partner nonton saya, Ayik, buat sesegera mungkin nonton film ini. Tapi demi keseimbangan, malam sebelum saya nonton, saya search "madre" di twitter dan keluarlah keluhan-keluhan kecewa dari banyak orang pasca nonton film ini, yang tentu saja ngga akan diretweet oleh posko pembaca dee dan dewi lestari. Ahh tapi saya akan tetep nonton kok, seperti saya juga nonton perahu kertas dan rectoverso. Kenapa? Karena saya ingin melihat visualisasi dari novel-novel dewi lestari kesayangan saya.
Soooo, kemaren, 2 april, akhirnya saya nonton dengan Ayik. Ayik ini bukan pembaca madre, dan dia tau ada banyak review jelek, jadi dia menyarankan agar saya menurunkan ekspektasi saya.
Sudah, saya tentu saja sudah menurunkan ekspektasi saya. Sudah. Dan ternyata saya kecewa sama film ini. Yah saya tau sih, tulisan dan film adalah media yang berbeda. Pasti susah membuat film berdasarkan cerita karya Dewi Lestari yang menjadi favorit banyak orang. Film ini bagus kok. Tapi ya bagus aja. Nggak ngena, nggak dapet. Kayak liat FTV di layar lebar. Dan saya nggak suka banget, Benni Setiawan ngobrak-abrik madre jadi seperti ini. Madre seperti bukan lagi inti dari film ini, madre jadi hanya sebagai perantara kisah cinta Mei dan Tansen. Itu sih yang sebenarnya paling mengecewakan saya.
Karakter Tansen terasa labil karena dia bolak balik Bandung-Bali, bingung menentukan keputusannya, lari dari masalah. Saya juga nggak dapet feel Mei yang terobsesi pada madre karena rasa bersalahnya sudah merusakkan adonan biang yeye. Saya juga nggak lihat Mei yang workaholic, yang gesit. Mei yang saya lihat di film adalah wanita yang kalem, mendayu-dayu, yang terobsesi madre karena peduli pada bisnisnya dan hidup Tansen. Tansen rela meninggalkan kebebasannya bukan karena ia akhirnya menyayangi madre yang telah menyentuh hidupnya atau karena kata-kata pak Hadi yang banyak mengarahkannya, tapi lebih karena ia jatuh cinta pada Mei. Di dalam novel, Pak Hadi adalah orang Jakarta dengan tubuh kurus, punya karakter kuat dan aura kebijaksanaan, yang kerap berkata tegas tanpa basa basi tapi semua omongan nylekitnya berhasil menohok dan terasa benar. Pak Hadi dalam film penuh komedi dan jadi Sunda. Belum lagi akting Titi Qadarsih sebagai bu Cory, terlalu berlebihan dan gengges. Lalu Mei yang ternyata sudah punya calon suami. Juga konflik tentang Tan De Bakker dan Fairy bread yang terasa dipaksakan.
Ahh ya, ketika saya nonton ini, bioskopnya sepi tuh. Hanya ada sekitar 15 orang dan beberapa di antaranya adalah couple, yang saya yakin sang cowok nonton film ini karena ajakan ceweknya *seperti Ayik* :D
Kesimpulannya, imho, film ini salah adonan dan overrated. Dan yah meski saya tak cocok dengan film ini tapi saya tetap berharap film ini akan lumayan laku, karena bagus tidaknya sebuah film kan juga masalah selera.
Terakhir, jayalah film Indonesia :D
posted from Bloggeroid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar